Senin, 24 Agustus 2009

bukan bidadari dalam pasungan,,,


eramuslim - Hari itu muncul sebuah e-mail di sebuah milis yang kuikuti. Berita pernikahan seorang alumni. Sebuah artikel singkat menyertai, kisah tentang istri yang dilarang suaminya keluar rumah, sampai ketika orang tuanya sakit dan akhirnya meninggal tidak menjenguk orang tuanya tersebut.

Sebenarnya kisah itu sudah lama kudengar. Namun entahlah, saat membaca kembali kisah itu, membangkitkan "ketakutanku". Akankah suamiku kelak berpedoman pada kisah ini lantas melarangku untuk sering mengunjungi orang tuaku? Akankah suamiku kelak dengan dalih istri harus ta'at pada suami lalu menjegal mimpi-mimpiku? Akankah dengan otoritasnya dia matikan potensiku di ranah publik? Akankah aku dijadikannya bidadari dalam pasungan?

Bukan, bukan aku mengingkari keta'atan seorang istri kepada suami. Tapi lebih pada ketakutan akan sosok suami yang menyalahgunakan wewenangnya

Ketakutan yang berlebihan? mungkin. Namun membaca dan mendengar banyak kisah kontemporer para bidadari yang (merasa) terpasung menjadikan ketakutan itu terasa wajar. Mau tidak mau takut itu menggundahkan jiwaku, dan gundahku mencoba cari jawab.

Akhirnya, kala melintas sebuah kios koran dan majalah, gundahku terjawab sudah, walau kupikir belum tuntas. Sebuah majalah dengan bahasan utama Kekasihku Pemimpinku, memberi kesadaran kembali (karena sebelumnya pun aku telah memahami hal ini) bahwa kepemimpinan suami bukan rezim, bahwa aplikasi kepemimpinan tidak semata perintah dan larangan namun keteladanan.

Lembar-lembar bahasannya seakan menenangkanku agar aku tidak perlu takut, karena suami sebagai pemimpin dalam rumah tangga bukan bermakna sebagai pemegang otoritas yang boleh bersikap otoriter. Di situ DR Idris Abdu Somad, Sekjen Ikatan Da'i Indonesia (IKADI) berujar, "Seorang suami yang memiliki istri dengan potensi sosial atau potensi politik, jangan lantas membatasi istrinya dengan hanya memposisikannya dalam basis rumah tangga saja".

Aku sedikit lega..

Tapi aku tahu, kelegaanku akan diuji dan dibuktikan kala hari seseorang menjabat tangan ayahku dan menjawab ijab yang ayah ucapkan. Maka kala itulah gundahku terjawab tuntas.

Biarlah sekarang lebih kudahulukan bekalan-bekalan menjadi istri sholihah. Sementara bagaimana pemimpin rumah tangga yang baik, tetap kuketahui sebagai ilmu.

Teringat ucapan seorang ustadz, "para lelaki sibuk membaca apa saja hak suami, bagaimana istri yang baik dan ideal. Sedangkan perempuan sibuk dengan bacaan tentang hak istri serta kriteria suami baik dan ideal. Lantas ketika keduanya bertemu dalam bahtera rumah tangga, harapan yang terlanjur dibuat tinggi berbenturan dengan realita yang mungkin tidak seindah yang pernah dibaca. Bukan tidak boleh membaca itu semua, namun hendaklah proporsional dan seimbang. Justru dahulukan ilmu tentang kewajiban dan bagaimana menjadi pasangan yang baik dan tepat. Agar menjadi cermin untuk diri kita sendiri"

Walau tak bisa ku nafikkan, sedikit asa terbit di jiwa, mudah-mudahan beliau yang berjabat tangan dengan ayah kelak pernah membaca majalah tadi dan kelak mengamalkan, sehingga aku tidak akan pernah menjadi bidadari dalam pasungan :)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Free Blogger Templates