Senin, 24 Agustus 2009

istRiku maaFkan akU,,,


Mungkin ada benarnya, perempuan itu lebih cepat dewasa daripada lelaki. Setidaknya aku banyak belajar pada kesabaran istriku ketika menapaki tahun-tahun awal pernikahan.

"Assalaamu'alaikum," Kata-kataku tak terlalu ramah. Wajahku kusut. Badanku capek. Yang paling berat, jiwaku amat lelah.

"Wa 'alaikumus salam ...," jawab istriku sambil menghampiri pintu, sun tangan dan mengambil tas sekolahku. Kali ini tak ada kecup mesraku. Entah kenapa beku rasa hatiku. Bahkan keramahan istriku tidak menggelitik syaraf-syarafku untuk tersenyum.

"Kenapa ...?" Itu saja yang keluar dari mulut istriku, melihat reaksiku yang tidak seperti biasanya. Lalu dia beranjak ke tempat tas sekolahku biasa disimpan.

Aku bisa merasakan tentu dia merasakan keanehan sikapku sore ini. Mestinya aku bisa cepat berganti peran, melupakan berbagai himpitan persoalan di kampus atau persoalan lain di luar rumah. Tapi aku tak bisa menguasai diriku. Aku seolah sedang terbang dengan egoku. Aku cuek dengan sekelilingku, bahkan terhadap istriku yang saat ini sedang dilanda bingung ...

"Akang capek ... Mau tidur dulu!" Betapa ketusnya ucapan itu keluar.

"Mau langsung tidur, enggak makan dulu? Udah dimasakin capcay lho," Kata-kata istriku masih seramah tadi. Capcay, pikirku. Makanan kesukaanku. Tapi saat itu enzim-enzim perasa lidahku pun seolah ikut lelah. Selelah hatiku.

"Enggak lapar Neng," Aku melangkah begitu saja ke kamar tidur meninggalkan istriku.

"Ya sudah, kalau capek mangga ditidurkan dulu. Nanti jika kebangun malam, masakan ada di meja ya ...," kata istriku, masih dengan nada lembut. Tapi justru kata-kata lembut itu makin menyiksaku. Hati yang sesaat sakit memang terlalu kasar untuk bisa mengapresiasi kelembutan.

Masih dengan baju lusuh yang dipakai seharian tadi, aku menjatuhkan badanku ke ranjang. Berbagai rasa aneh berkecamuk di hatiku. Aku merasakan betapa kekanak-kanakan sikapku. Bagaimana mungkin aku bersikap seperti ini? Tapi lagi-lagi egoku mengalahkan segala kewarasan untuk bersikap. Aku mencoba memejamkan mata. Gagal. Beberapa menit aku coba untuk benar-benar tidur. Masih gagal. Setelah berkali-kali badan bolak-balik di tempat tidur. Berganti-ganti posisi antara memeluk guling, terlentang, telungkup, akhirnya aku tertidur.

Aku merasa pegal. Otot-otot sekitar leher dan punggungku terasa agak tegang. Aku terjaga. Sambil beradaptasi dengan cahaya lampu tidur yang agak redup, aku mencoba membaca jarum jam di lengan kananku. Hmm, jam sebelas. Ya ampun, perutku keroncongan. Aku coba mengingat, kenapa aku merasa lapar. Sekelebat aku ingat capcay. Ya, istriku bilang dia masak capcay.

Istriku. Dengan refleks aku lekas mencari wajah istriku. Dalam keremangan aku bisa melihat dia tidur pulas. Wajah itu begitu teduh. Tapi mengapa wajahnya nampak seperti menyimpan lelah. Pikiranku terseret ke suasana sore tadi. Ya Allah, apa yang sudah aku lakukan? Astagfirullah. Aku masih menatap lelah di wajah istriku. Tidak seperti bisanya, tak ada gurat sumringah pada wajahnya saat tidur kali ini.

Maafkan aku, sayang, aku kehilangan kontrol sore tadi. Dan lelah wajahnya menghadirkan bayangan-bayangan keramahan dan kelembutannya saat dia menyambutku, yang tiba-tiba bersikap aneh sore tadi. Beribu penyesalan berkecamuk di dadaku. Tak terasa ada setetes dua tetes air mata di ujung kelopak mataku. Maafkan aku, sayang.. Aku kecup lembut kening istriku. Dia menggeliat sebentar, tapi kembali lelap dalam tidurnya.

Hati-hati aku bangun dari tempat tidur, khawatir membuat istriku terganggu. Aku melangkah ke kamar mandi. Berwudhu. Kemudian sholat. Berkecamuk jiwaku dalam sholat. Aku malu pada Allah. Aku malu pada caraku bersikap di rumah sore ini. Selepas sholat aku memohon ampun padaNya atas sikapku yang berlebihan dan tak mampu menguasai emosi dengan baik. Sesak rasanya dadaku pada munajat. Tetesan air mata kali ini adalah untuk penyesalanku bersikap tak ramah pada istriku.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Free Blogger Templates