Minggu, 23 Agustus 2009

ketika layar terkembang (menikah II),,


Islam telah membimbing kita dalam membangun rumah tangga, dimulai dari memilih pasangan hidup. Islam mengikat suami istri dalam ikatan kokoh, menentukan hak dan kewajiban, serta mewajibkan mereka menjaga buah pernikahan ini. Islam juga mengantisipasi segala problema yang dapat menghadang kehidupan rumah tangga secara tepat. Itulah kesempurnaan islam yang sangat indah.


Pernikahan! Kata itu sangat indah didengar tetapi keindahan di dalamnya harus serta-merta dibarengi dengan persiapan. Pernikahan berarti mempertemukan kepentingan-kepentingan dua individu dan bukan mempertentangkannya.

Ketika biduk rumah tangga telah berlayar, apa saja yang bisa anda lakukan di dalamnya? Hari berlalu, pekan berlalu, bergantilah bulan. Tiba-tiba suatu hari anda merasakan ada sesuatu yang tidak mengenakkan anda. Anda mengamati sifat dan pasangan anda selama beberapa pekan sejak pernikahan, ternyata ada yang tidak anda sukai dan yang tidak anda harapkan. Sejak saat itu, anda menemukan bahwa rumah tangga tidak hanya berisi kegembiraan, namun juga tantangan, bahkan bisa juga ancaman. Seorang suami mungkin bertanya-tanya siapakah gerangan engkau wahai istriku? Demikian ia sering bertanya dalam hatinya. Sekian banyak hal-hal aneh dan asing yang ia temukan pada diri seorang ‘makhluk halus’ bernama istrinya itu. Demikian pula, pertanyaan itu muncul di benak sang istri. Seperti ia sedang dihadapkan pada sebuah laboratorium bernyawa, tengah ada banyak penelitian dan pelajaran yang bisa dieksplorasi di dalamnya. Ia menghadapi hari-hari yang berharga, pengenalan demi pengenalan, pengalaman demi pengalaman dan berbagai pertanyaan yang belum terjawabkan. Dulu waktu masih lajang, seorang muslimah yang belum pernah bersentuhan kulit dengan lawan jenis, kini tiba-tiba dihadapkan pada seorang asing yang nantinya akan mengetahui banyak ‘rahasia’ dirinya. Ia seorang wanita yang ‘clingus’ menurut orang jawa, wanita yang tak berani ngobrol dan bercanda dengan lawan jenisnya, namun tatkala masuk ke jenjang pernikahan ia harus berhadapan dengan ‘dunia’ laki-laki. Kini, ia mencoba menyesuaikan irama kehidupan dirinya dengan sang suami. Ia mulai mengenal dunia laki-laki secara dekat tanpa jarak. Demikian pula hal-nya dengan sang suami.

Sebenarnyalah kesulitan yang dihadapi merupakan sesuatu yang wajar dan manusiawi. Betapa tidak! Pernikahan telah mempertemukan bukan saja dua individu yang berbeda, laki-laki dan perempuan, tetapi dua kepribadian, dua selera, dua latar budaya, dua karakter, dua hati, dua otak dan ruh yang hampir dapat dipastikan banyak ketidaksamaan yang akan ditemui oleh keduanya. Seorang manusia yang terkadang bisa saja tak paham akan suasana hatinya, sekarang malah dituntut untuk memahami hati orang lain?!

Kehidupan rumah tangga tak semuanya bisa dirasionalkan begitu saja, terkadang memerlukan proses kontemplasi yang rumit, memahami dunia baru, memahami suasana jiwa, logika, psikologis dan fisiologis yang bergulir bersama di dalam kehidupan rumah tangga. Kuliah S1 ternyata tak cukup membekali teori tentang ’siapakah laki-laki dan perempuan’ dalam tataran teoritis maupun praktis. Tentunya kita kurang mampu memahami dunia pasangan kita, kecuali menempuh pembelajaran dan saling membantu untuk terbuka kepada pasangannya tentang apa yang dirasakan, kepedihan duka, kegembiraan, kecemburuan, kekecewaan, kebanggaan, keinginan, dan jutaan determinasi perasaan lainnya. Saling mencintai memerlukan proses pembelajaran. Saling membantu mengajarkan tentang diri sendiri, bahwa aku adalah makhluk Allah yang punya keinginan dan mestinya engkau mengerti keinginanku. Akan tetapi bahasan verbal tak senantiasa berhasil mengungkap hakikat perasaan.

Menikah adalah pilihan sadar setiap laki-laki dan perempuan dalam islam. Seorang laki-laki berhak menentukan pasangan hidup sebagaimana perempuan. Jika kemudian sepasang laki-laki dan perempuan memutuskan untuk saling menerima dan sepakat melangsungkan pernikahan, atas alasan apakah satu pihak merasa terpaksa berada di samping pasangan hidupnya setelah resmi berumah tangga??!! Sebelum terjadinya akad nikah, pilihan masih terbuka lebar, akan tetapi setelah adanya akad nikah, adalah sebuah pengkhianatan terhadap makna akad itu sendiri apabila satu pihak senantiasa mencari-cari keburukan dan kesalahan pasangannya dengan merasa benar dan bersih sendiri. Tentunya hal tersebut merupakan salah satu bentuk penyucian diri, terlebih lagi tindakannya tersebut akan menumbuhkan benih-benih kebencian dalam hati terhadap seseorang yang telah menjadi pilihannya. Allah ta’ala berfirman:

فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى

“Janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS. An Najm: 32).

لَا يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ

“Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah, karena walaupun dirinya membenci salah satu perangainya, tentulah akan ada perangai lain yang disukainya.” (HR. Muslim nomor 2672)

Imam An Nawawi mengatakan, “Yang benar, hadits ini merupakan larangan bagi seorang suami agar tidak membenci istrinya, karena apabila istrinya memiliki perangai yang tidak disenanginya, tentulah akan ada perangai lain yang disukainya, misalnya istrinya memiliki akhlak yang jelek, akan tetapi mungkin saja dia komitmen terhadap agama, memiliki paras yang cantik, mampu menjaga diri, lembut atau yang semisalnya.” (Syarh Shahih Muslim, 5/209).

لِأَنَّهُ إِنْ وَجَدَ فِيهَا خُلُقًا يُكْرَه وَجَدَ فِيهَا خُلُقًا مَرْضِيًّا بِأَنْ تَكُون شَرِسَة الْخُلُق لَكِنَّهَا دَيِّنَة أَوْ جَمِيلَة أَوْ عَفِيفَة أَوْ رَفِيقَة بِهِ أَوْ نَحْو ذَلِكَ

Memang ada pilihan lain yang dicontohkan shahabiyah Habibah binti Sahl ketika menemukan kebuntuan dalam rumah tangga sehingga dirinya mengajukan khulu’. Nabi pun memberikan jalan keluar (HR. Malik nomor 1032; Abu Dawud nomor 1900, 1901; An Nasaa’i nomor 3408; Ibnu Majah nomor 2047; Ahmad nomor 26173; dishahihkan oleh Al ‘Allamah Al Albani dalam Al Irwa’, 7/102-103, Shahih Sunan Abu Dawud nomor 1929). Namun, cerai bukanlah jalan pertama yang harus ditempuh, sebab proses belajar menerima dan mencintai harus terjadi dan ditempuh terlebih dahulu. Karena tujuan kita menikah adalah ibadah, mengabdi pada Allah dan mencapai keridhoan-Nya. Sedangkan hasil akhir dari ibadah itu sendiri adalah mencapai tingkat ketakwaan atau pemeliharaan diri dari segala kemaksiatan, yang akan membawa pemiliknya merengkuh ridho Allah. Berbagai upaya akan ditempuh oleh orang yang ingin mencapai derajat ketakwaan, tidak terkecuali melalui pernikahan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اتَّقِ اللَّهِ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعْ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَن

“Bertakwalah kamu dimanapun kamu berada, bila kamu berbuat kejahatan, segera iringi dengan perbuatan baik, sehingga dosamu terhapus, lalu pergaulilah manusia dengan akhlaq yang baik.” (HR. Tirmidzi nomor 1910; dihasankan Syaikh Al Albani dalam Al Misykah nomor 5083, Ar Raudlun Nadhir nomor 855, Shahih wadl Dhaif Sunan At Tirmidzi, 4/487)

Setiap pasangan hendaknya merenungkan bahwasanya ketika mereka menikah, mereka tinggal menyempurnakan “setengah ketakwaan”, apakah “setengah ketakwaan” yang telah dianugerahkan Allah kepada mereka hendak disia-siakan?

Mari kita belajar membentuk bahtera rumah tangga yang mampu berlayar merengkuh keridhoaan-Nya. Bertakwalah kepada Allah dalam setiap mengambil keputusan dan bersabarlah menghadapi kekurangan dan kelemahan pasangan kita, karena tak ada manusia yang sempurna, teruslah bermuhasabah diri. Mudah-mudahan dengan kesabaran kita, Allah akan memudahkan dan memberikan kebahagiaan dalam rumah tangga kita. Teruslah berusaha melaksanakan semua kewajiban yang Allah bebankan pada kita dengan segala kemampuan dan kekuatan yang ada, Allah-lah sumber kekuatan kita, dengan mengharap ridha-Nya dan cinta-Nya. Berjanjilah, mulai hari ini, bahwa keindahan hidup rumah tangga pada mulanya berasal dari kesadaran anda akan janji besar ini! Dengan demikian, semoga kita mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Semoga Allah mengumpulkan kita dengan pasangan beserta anak-anak kita dalam jannah-Nya. Amiin…
Tinggalkan sebuah Komentar
kecantikan sejati…
Diarsipkan di bawah: cewek, my way, sakinah — aneeshya @ 3:17:20

Adalah kebahagiaan seorang laki-laki ketika Allah menganugrahkannya seorang istri yang apabila ia memandangnya, ia merasa semakin sayang. Kepenatan selama di luar rumah terkikis ketika memandang wajah istri yang tercinta. Kesenangan di luar tak menjadikan suami merasa jengah di rumah. Sebab surga ada di rumahnya; Baiti Jannati (rumahku surgaku).


Kebahagiaan ini lahir dari istri yang apabila suami memandangnya, membuat suami bertambah kuat jalinan perasaannya. Wajah istri adalah keteduhan, telaga yang memberi kesejukan ketika suami mengalami kegerahan. Lalu apakah yang ada pada diri seorang istri, sehingga ketika suami memandangnya semakin besar rasa sayangnya? Konon, seorang laki-laki akan mudah terkesan oleh kecantikan wajah. Sempurnalah kebahagiaan seorang laki-laki jika ia memiliki istri yang berwajah memikat.

Tapi asumsi ini segera dibantah oleh dua hal. Pertama, bantahan berupa fakta-fakta. Dan kedua, bantahan dari sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.

Konon, Christina Onassis, mempunyai wajah yang sangat cantik. Ia juga memiliki kekayaan yang sangat besar. Mendiang ayahnya meninggalkan harta warisan yang berlimpah, antara lain kapal pesiar pribadi, dan pulau milik pribadi juga. Telah beberapa kali menikah, tetapi Christina harus menghadapi kenyataan pahit. Seluruh pernikahannya berakhir dengan kekecewaan. Terakhir ia menutup kisah hidupnya dengan satu keputusan: bunuh diri.

Kecantikan wajah Christina tidak membuat suaminya semakin sayang ketika memandangnya. Jalinan perasaan antara ia dan suami-suaminya tidak pernah kuat.

Kasus ini memberikan ibroh kepada kita bahwa bukan kecantikan wajah secara fisik yang dapat membuat suami semakin sayang ketika memandangnya. Ada yang bersifat psikis, atau lebih tepatnya bersifat qalbiyyah!

Bantahan kedua, sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam: “Seorang wanita dinikahi karena empat hal; karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka pilihlah yang taat beragama niscaya kamu akan beruntung.” (HR. bukhari, Muslim)

Hadist di atas sebagai penguat bahwa kesejukan ketika memandang sehingga perasaan suami semakin sayang, letaknya bukan pada keelokan rupa secara zhahir. Ada yang bersifat bathiniyyah.

Dengan demikian wahai saudariku muslimah, tidak mesti kita harus mempercantik diri dengan alat kosmetik atau dengan menggunakan gaun-gaun aduhai yang akhirnya akan membawa kita pada sikap berlebihan pada hal yang halal bahkan menyebabkan kita menjadi lalai dan meninggalkan segala yang bermanfaat dalam perkara-perkara akhirat, wal ‘iyadzubillah. Namun tidak berarti kita meninggalkan perawatan diri dengan menjaga fitrah manusia, dengan menjaga kebersihan, kesegaran dan keharuman tubuh yang akhirnya melalaikan diri dalam menjaga hak suami. Ada yang lebih berarti dari semua itu, ada yang lebih penting untuk kita lakukan demi mendapatkan cinta suami.

Sesungguhnya cinta yang dicari dari diri seorang wanita adalah sesuatu pengaruh yang terbit dari dalam jiwa dengan segala kemuliaannya dan mempunyai harga diri, dapat menjaga diri, suci, bersih, dan membuat kehidupan lebih tinggi di atas egonya.

Untuk itulah saudariku muslimah… Tuangkanlah di dalam dada dan hatimu dengan cinta dan kasih sayang serta tanamkanlah kemuliaan wanita muslimah seperti jiwamu yang penuh dengan kebaikan, perhatian serta kelembutan. Bukankah kita telah melihat contoh-contoh yang gemilang dari pribadi-pribadi yang kuat dari para shahabiyyah radiyallahu ‘anhunna…?

Janganlah engkau penuhi dirimu dengan ahlak yang selalu sedih dan gelisah, banyak pengaduan dan keluh kesah dan selalu mengancam, karena hal tersebut akan menggelapkan hatimu. Tersenyumlah untuk kehidupan. Seperti kuatnya para shahabiyyah dalam menghadapi kehidupan yang keras dan betapa kuatnya wanita-wanita yang lembut itu mempertahankan agamanya…

Perhiasan jiwa, itulah yang lebih utama. Yaitu sifat-sifat dan budi pekerti yang diajarkan Islam, yang diawali dengan sifat keimanan. Sebagaimana firman Allah, (yang artinya) “Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan.” (QS. Al-Hujaraat: 7)

Apabila keimanan telah benar-benar terpatri dalam hati, maka akan tumbuhlah sifat-sifat indah yang menghiasi diri manusia, mulai dari Ketakwaan, Ilmu, Rasa Malu, Jujur, Terhormat, Berani, Sabar, Lemah Lembut, Baik Budi Pekerti, Menjaga Silaturrahim, dan sifat-sifat terpuji lainnya yang tidak mungkin disebut satu-persatu. Semuanya adalah nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang diberikan kepada hamba-hambanya agar dapat bahagia hidup di dunia dan akhirat.

Wanita benar-benar sangat diuntungkan, karena ia memiliki kesempatan yang lebih besar dalam hal perhiasan jiwa dengan arti yang sesungguhnya, yaitu ketika wanita memiliki sifat-sifat terpuji yang mengangkat derajatnya ke puncak kemuliaan, dan jauh dari segala sesuatu yang dapat menghancurkanya dan menghilangkan rasa malunya….!

Saudariku… jika engkau telah menikah, maka nasihat ini untuk mengingatkanmu agar engkau selalu menampilkan kecantikan dirimu dengan kecantikan sejati yang berasal dari dalam jiwamu, bukan dengan kecantikan sebab yang akan lenyap dengan lenyapnya sebab.

Saudariku… jika saat ini Allah belum mengaruniai engkau jodoh seorang suami yang sholeh, maka persiapkanlah dirimu untuk menjadi istri yang sholihah dengan memperbaiki diri dari kekurangan yang dimiliki lalu tutuplah ia dengan memunculkan potensi yang engkau miliki untuk mendekatkan dirimu kepada Yang Maha Rahman, mempercantik diri dengan ketakwaan kepada Allah yang dengannya akan tumbuh keimanan dalam hatimu sehingga engkau dapat menghiasi dirimu dengan akhlak yang mulia.

Saudariku… ini adalah sebuah nasihat yang apabila engkau mengambilnya maka tidak ada yang akan diuntungkan melainkan dirimu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Free Blogger Templates