Senin, 24 Agustus 2009

Menurutku Penting, Menurutnya Bagaimana?


eramuslim - Kadangkala, sebuah rumah tangga bisa retak bahkan hancur berakhir dengan perceraian hanya oleh sebab permasalahan yang sepele. Hal kecil yang dibesar-besarkan, atau hal besar yang dianggap kecil. Sebagian berkasus adanya perbedaan pendapat dan perbedaan sudut pandang mengenai suatu permasalahan. Suasana yang tadinya adem ayem, bisa berubah menjadi perang dingin gara-gara ‘salah tangkap’ terhadap perkataan si pasangan. Kericuhan kecil itu bisa berbuahkan macam-macam. Saling mentertawakan ‘ketidaknyambungan’ masing-masing, atau bahkan berakhir dengan pertengkaran. Kalau yang terakhir ini, seringkali menjadi sad ending. Tak enak tentunya.

Banyak pakar kerumahtanggaan, atau konsultan perkawinan, sampai sesepuh yang telah banyak makan asam garam menyatakan, bahwa inti dari semuanya adalah masalah komunikasi. Bagaimana sepasang suami istri dapat menyatakan sikap dan pendapatnya dengan cara yang baik, pada waktu yang tepat. Seringkali, antara keduanya tidak match, alias tidak nyambung. Memang sulit, ketika permasalahan muncul, mungkin salah satu dari keduanya sedang mengalami bad mood dan tak tepat tentu bila harus menambah lagi beban perasaan dan pikiran padanya. Tetapi rasanya masalah itu demikian mendesak, hingga tak sabar untuk segera diungkapkan. Mulailah pembicaraan itu dilakukan dengan sedikit bumbu emosi, hingga ‘lupa’ akan kata-kata santun dan cara yang baik itu tadi. Ujung-ujungnya, bila lawan bicara tidak mengupayakan kesabaran dan kelegaan hati, pesan yang ingin disampaikan malah berbalik menjadi adu mulut. Pesan tak sampai, pertengkaran dituai. Habis mau bagaimana, sudah kadung emosi, jadinya mencak-mencak saja. Begitu apologinya.

Sedikit banyak, cara berpikir atau sudut pandang seorang pria dalam memandang sebuah permasalahan, bisa berbeda dari seorang wanita. Hal-hal yang dianggap begitu berarti dan meninggalkan kesan bagi seorang wanita, seringkali tak dipandang sebelah mata pun oleh seorang pria. Artinya, bagi mereka, hal-hal kecil tersebut tidak dianggap sebagai hal utama yang harus menguras hati dan pikiran. Sebab masih banyak hal-hal lain yang menempati prioritas tersebut. Contohnya, bagi seorang suami, memikirkan bagaimana caranya untuk menghemat pengeluaran ketika akan membetulkan genting rumah yang rusak, akan menempati sisi ruang pikirannya ketimbang bagaimana perasaan seorang istri yang merasa kesal, letih, dan mengeluhkan perasaannya ketika harus mengepel sendirian saat air bocoran atap menggenang di tiap sudut rumah. Seringkali, seorang pria memaknai suatu permasalahan dengan logikanya; di mana letak kesalahan, bagaimana cara memperbaiki, masuk akal atau tidak, seberapa penting urusan itu, dan sebagainya. Sedangkan wanita, sering memaknainya dengan perasaan dan hati; betapa sakit atau sedihnya ketika mengalami suatu kesulitan, seberapa besar kesan yang berbekas dari sebuah kejadian, apa yang dirasakan ketika sebuah pekerjaan dilakukan, dan lain-lain. Tidak selalu memang, tetapi hal ini seringkali dialami. Akibatnya, ada hal-hal yang terasa ‘tidak nyambung’ ketika suatu permasalahan (baik kecil maupun besar) terkuak dan harus segera diselesaikan.

Hal tersebut memang tidak bisa digeneralisasi, walaupun banyak penelitian membuktikannya dengan berbagai studi kasus. Sebab, setiap manusia memang diciptakan Allah dengan berbagai kelebihan dan kekurangan. Mengapa perbedaan tersebut ada pada diri tiap pria dan wanita, adalah karena Allah menciptakan dua makhluk tersebut untuk saling melengkapi dan saling menentramkan. Kelebihan yang ada pada diri seorang pria, akan dapat menutupi dan melengkapi kekurangan yang ada pada diri seorang wanita, dan sebaliknya. Bila dikatakan seorang pria berasal dari Planet Mars, hingga mereka terkesan begitu ‘asing’ bagi seorang wanita, mungkin agak terlalu berlebihan adanya. Malah bisa jadi, ungkapan tersebut akan ‘mendorong’ otak dan hati kita untuk berpikir macam-macam dan mencari-cari sisi perbedaan dari lawan jenis atau pasangan kita. Yang akhirnya akan timbul, adalah perasaan nelangsa bahwa harus menghadapi perbedaan itu seumur hidup.

Mengapa tak utamakan saja berpikiran positif? Bahwa ketika ‘konflik kecil’ muncul akibat perbedaan cara berpikir itu, masing-masing bisa menjelaskan alasan dari pernyataan sikapnya. Menjelaskan manfaat dan mudharat-nya, sehingga bisa dilihat, mana argumen yang lebih baik, yang bisa diterima dan dilaksanakan. Apalagi bila menyangkut urusan rumah tangga. Menyelesaikan konflik dengan emosi hanya akan menimbulkan perdebatan panjang yang tidak akan membawa hasil yang baik bagi keduanya. Sebab bila emosi sudah muncul, maka amarah akan mudah untuk tersulut, dan bila api sudah menyala besar, maka sangat sulit untuk meredamnya. Mendahulukan kelapangan hati untuk menerima segala pendapat yang dikeluarkan pasangan, untuk kemudian sama-sama merundingkan dan memikirkannya dengan baik, adalah langkah yang bijaksana. Sehingga keduanya bisa saling memberikan masukan positif dan diterima dengan baik, tentunya dengan memperhatikan cara penyampaian dan waktu yang tepat. Memang tak mudah, sebab untuk melakukannya diperlukan pertimbangan cermat akan kondisi hati dan fisik pasangan. Saat ia lelah dan kelihatan sedang menanggung beban berat, bukan gerutuan dan keluh panjang yang ia butuhkan. Sepertinya memang diperlukan kemauan kuat untuk dapat mengatur diri dalam menghadapi segala situasi ketika masalah itu muncul. Menahan diri untuk tidak menyampaikannya sampai kondisi benar-benar memungkinkan, akan jauh lebih efektif dibandingkan langsung ‘dimuntahkan’ ditambah emosi pula. Bila dalam pekerjaan dan aktivitas keseharian kita dapat berlaku efektif, mengapa sulit untuk mengusahakannya demi kelancaran berkomunikasi dengan pasangan?

Segalanya memang keluar dari hati, dan dasarnya adalah keimanan. Ketaqwaan dan kedekatan diri pada Allah akan menjadikan diri ini lebih bersabar dan tenang dalam menghadapi segala sesuatu. Bukankan setan memang selalu ada untuk menggoda manusia? Ia tak akan henti-hentinya menghembus-hembuskan kebencian dan kedengkian, hanya untuk merusak hubungan yang telah terjalin indah, berdasarkan cinta karena-Nya. Dan kita tak boleh lupa, bahwa setan adalah musuh nyata bagi manusia.

Mulailah dengan mengintrospeksi diri masing-masing, melihat lebih dalam pada suatu hal yang ingin dibicarakan dengan pasangan. Pahami bahwa setiap diri kita memiliki sifat yang berbeda, dan perbedaan itu seharusnya dapat menjadi sebuah kebaikan sebab akan dapat saling melengkapi. Proses mengetahui dan memahami karakter dan sifat pasangan adalah proses pengenalan yang akan berlaku sepanjang masa. Membuka dengan lapang hati dan pikiran sehingga komunikasi berjalan lancar, akan berbuahkan rasa cinta yang besar dan rasa saling membutuhkan. Sehingga perkataan "menurutku penting, menurutnya bagaimana", yang biasanya diungkapkan ketika sedang curhat kepada teman-teman dekat, akan berganti menjadi “menurutku penting, menurutmu bagaimana”. Buka keran komunikasi itu selebar-lebarnya dengan pasangan, supaya ia tahu apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh pasangannya. Dengan demikian, masing-masing kita akan belajar memahami dan membuka diri terhadap pasangan. Tidak lantas mengeluh, memendam sendirian kekesalan itu, atau bahkan membuka ‘rahasia’ itu kepada teman-teman terdekat kita. Bukankah jauh lebih baik bila keterbukaan itu kita bangun bersama dengan suami atau istri tercinta?

Selalu tak mudah dalam memulai sebuah kebiasaan baru. Namun, memulai berusaha untuk mendengarkan baik-baik dan menyampaikan sesuatu dengan cara yang baik dan waktu yang tepat, akan menjadi awal bagi keterbukaan yang indah. Belajarlah untuk berempati, dan berpikirlah positif dahulu sebelum menilai sesuatu. Mengapa ia menganggap satu hal ini sebagai hal kecil dan sepele? Mungkin alasannya adalah demikian dan demikian. Jawaban itu ada bila dibicarakan.

Menurutku penting, menurutmu bagaimana? Mari kita bicarakan bersama.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Free Blogger Templates