Senin, 24 Agustus 2009

mOst WanTed,,akhwaT cAnTik,,,



“Akh, ana mau ngasih tau antum sesuatu”, ujar kawan saya setengah merapat kepada saya.
“Ada apa akh?”, tanya saya. Penasaran.
“Antum tau nggak, istri ana itu dulunya termasuk satu dari dua akhwat yang paling banyak diharapkan sama ikhwan di sini untuk dijadiin istri”, ucapnya sambil tersenyum. Bangga.
“Ah, yang bener akh?’, tanya saya lagi. Tergelitik juga saya dengan omongan kawan baik saya yang satu ini.
“Eh, ana serius akh”, tukasnya dengan mimik serius.
“Ya, ya, ya, ana percaya sama antum”, ujar saya sambil tersenyum. “Lha terus, yang satu lagi siapa? Dia udah nikah juga?”, tanya saya lagi


“Kalo yang satu lagi itu ukh anu. Dia belum nikah akh”, lanjutnya kemudian.
Sambil mengingat-ingat wajah sang akhwat yang dimaksud, sambil tersenyum, saya pun berujar kepada teman saya, “Ya iyalah. Kalau sama ukh itu mah ya pantes aja kalo banyak yang ngefans. Lha wong tampangnya aja udah tampang artis. Kalo antum ngomong begitu, ana juga setuju deh”.
“Terus, dia juga mau nikah sebentar lagi? Wah, kalo emang iya, bakalan ada banyak BPH nih”, canda saya.
“Enggak akh, belum ada yang proses sama dia”, jawabnya. “Eh, BPH itu emangnya apaan sih?”, tanyanya.
“Barisan Patah Hati”, jawab saya kalem.
Kami pun tertawa bersama.
Obrolan ini kemudian saya tanyakan ke seorang kawan saya lainnya di sini, tentang dua orang akhwat yang dulu, sebelum salah satunya menikah, disinyalir menjadi the most wanted akhwat in town. Atau menurut istilah saya semacam “kembang desa”-nya akhwat-lah. Dan dari obrolan tersebut, kawan saya itu membenarkan akan apa yang kawan saya yang pertama tadi katakan.
“Bahkan”, ujarnya, “ dulu sempat ada semacam ketegangan di antara si fulan dan si fulan gara-gara, istilahnya, memperebutkan akhwat itu”, ceritanya. Bersemangat.
“Ya Allah, sampai segitunya pak?”, tanya saya. Takjub.
“Iya akh, emang sampai segitunya”, kata kawan saya sambil tersenyum.
“Trus, nggak sampe ada pertumpahan darah kan?”, celetuk saya.
Kawan saya tertawa. “Ya nggaklah, emangnya jodoh cuma selebar erte satu erwe dua aja.”
Saya juga tertawa.
Kemudian saya bertanya lagi. “Nah, kalo akhwat yang terakhir ini gimana?”.
“Kalo yang ini kayaknya juga sedang ada beberapa kawan kita yang sedang berusaha untuk proses dengan dia”, jelasnya.
“Dulu sih dia sempet mau proses dengan akh fulan”, sambungnya, “cuman nggak jadi. Malah ana dapat pengakuan dari akh anu kalo dia sekarang lagi mau menyusun rencana buat meminang itu akhwat.”
“Halah, kayak mau pilkada aja”, tukas saya. “Trus, cerita selanjutnya gimana?”, tanya saya lagi. Bersemangat.
“Ya, kita liat aja nanti. Emang kenapa? Pak Wahid juga mau berpartisipasi?”, tanyanya kepada saya. Bercanda.
“Wah, kalo bisa jangan pak. Kalo ana sampai ikut di dalam persaingan, nanti takutnya bakalan ada gonjang-ganjing di dunia perpolitikan kita di sini. Bisa-bisa ntar ana didemo lagi sama fulan-fulan itu gara-gara ngerebut lahan orang”, jawab saya sambil cengar-cengir.
“Ya nggak apa-apa pak. Namanya juga usaha”, kelakar kawan saya.
Untuk sesaat. Tercipta keheningan di sela obrolan kami malam itu. Tak lama, kawan saya mulai angkat bicara lagi. Kali ini tampak nada serius di raut wajahnya.
“Ana juga bingung, kenapa ya ikhwan-ikhwan itu lebih mengutamakan wajah ketimbang aspek imaterialnya. Iya sih, cantik itu salah satu kecenderungan fitrah setiap manusia, tapi apakah harus mengorbankan dakwah ini demi sebuah kecantikan?”, ujarnya prihatin.
Ia melanjutkan. “Coba pak Wahid liat, akhwat di sini banyak yang belum menikah, padahal dari segi usia mereka sudah lebih dari cukup untuk segera menikah. Lagipula, apa sih yang kurang dari mereka?” tanyanya retoris. Pertanyaan yang sempat membuat saya serasa tertampar.

Kemudian saya pun membatin, “Apakah saya termasuk bagian dari mereka—para ikhwan yang terlalu mengutamakan kecantikan itu? Semoga saja tidak?”.

Lalu pertanyaannya adalah, sebegitu pentingkah sebuah kecantikan bagi seorang laki-laki sebagai standar utama dalam memilih jodoh? Saya akui, Rasulullah juga menyebutkan aspek tersebut dalam menentukan sosok calon istri, tapi apakah karena itu kita lantas menjadikannya sebagai segala-galanya? Bukankah Rasulullah justru mensyaratkan kebaikan iman sebagai sumber kebahagiaan dalam membina sebuah keluarga? Sebuah pertanyaan yang sulit saya jawab, karena saya hanyalah manusia biasa yang juga memiliki ekspektasi-ekspektasi tertentu akan hal itu.

Akan tetapi saya bertekad untuk tidak meletakkan keyakinan klise nan apologetik itu dalam hati saya selamanya dan saya berusaha untuk menerima ‘bargaining-bargaining ‘ tertentu. Karena saya percaya, ketenangan itu adanya di dalam hati yang mau menerima dengan ringan, meski mata memberikan banyak pesanan.

Dan saya juga percaya, bahwasanya ada kepentingan besar yang jauh lebih pantas diutamakan ketimbang memenuhi semua keinginan kita yang terkadang tidak memiliki korelasi signifikan terhadap kepentingan besar itu.

Saya sadar, keyakinan saya ini akan menuai banyak komentar, baik negatif maupun positif, dari Anda yang mendengarnya. Namun saya hanya mencoba untuk meletakkan sesuatu sesuai dengan tempat yang seharusnya sesuatu itu berada, bukan sekedar tempat yang sebaiknya. Karena Dia Maha Tahu akan apa yang terbaik buat saya, sedangkan saya tidak. Siapa tahu, ada kejutan yang Allah siapkan di balik keyakinan saya itu. Kejutan yang indah. Insya Allah.

Semoga Allah menguatkan hati saya, dan juga Anda (khususnya para lelaki). Amin.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Free Blogger Templates