Minggu, 23 Agustus 2009

,,,PengERan,,,

Semasa kecil dulu, setiap malamnya ibu gemar sekali bercerita. Dongengnya dengan mudah menghantarkan saya jatuh ke ujung lelap. Dari dongengnya, kemudian saya berkenalan dengan pangeran. Cerita ibu tentang pangeran memang banyak, tapi ketika itu satu yang saya simpulkan tentang pangeran. Pangeran adalah sosok yang baik hati, gagah, putra seorang raja dengan berlimpah kekayaan dan punya kereta bertahta emas yang di tarik oleh banyak kuda sembrani. Pangeran adalah sosok sempurna yang sangat diidamkan, hingga sewaktu kecil itu saya berangan-angan menjadi putri jelita yang dijemput kereta istimewa menuju istana gemerlap di atas bukit. Tentu sangat menyenangkan. Aih.

Sampai sekarang pun saya masih bermimpi dijemput pangeran. Namun kali ini, pangeran yang saya maksud bukan sosok sempurna yang mempunyai kereta kencana, tapi seorang manusia biasa dengan segala kekurangan manusiawi dan kelebihannya. Pangeran yang kepalanya tidak bermahkota, tapi keningnya sering menjumpai tanah dalam rangka bersujud kepada Sang Pencipta. Pangeran yang wajahnya tidak perlu tampan, tapi selalu teduh karena terbiasa menjaga wudhu dalam setiap waktunya. Pangeran yang begitu gagah menafkahi keluarga dengan rezeki yang halal meski harus bermandi peluh. Pangeran yang mempunyai cita-cita tamasya ke surga dan mengajak istrinya turut serta. Pangeran yang 'cakep' akhlak dan agamanya.

Ah, meski kualitas diri saya sedemikian amburadul, tapi betapa saya menginginkan pangeran yang demikian. Pangeran yang Allah jodohkan untuk bersama melayarkan bahtera, seorang pendamping hidup yang akan saling meneguhkan langkah dan mengokohkah kedekatan kepada Allah Yang Maha Tinggi. Pangeran yang piawai menjadi nahkoda ketika berpesiar bersama.

***

Siang itu ia datang. Saya melihatnya sejenak dari dalam rumah. Suara cempreng keponakan terdengar nyaring "bi tamunya sudah datang". Saya merapikan jilbab dan bergegas memakai kaos kaki. Tak ada yang luar biasa. Toh ia hanya seseorang. Tak ada acara memakai pakaian bagus. Tak ada acara menyuguhkan penganan. Hanya segelas air putih dan itu saya bawa tanpa nampan.

Ya, siang itu ia datang. Bersilaturahmi lebih tepatnya. Bahkan saya iseng melabeli pertemuan itu dengan "jumpa penggemar". Tulisan saya di Eramuslim membawanya datang ke rumah. Ingin tahu saja seperti apa saya, karena menurutnya tulisan saya menyentuh hatinya. Itu katanya. Maka ia pun menuliskan 3 email prolog sebagai perkenalan. Tak ada yang nyeleneh dalam emailnya. Dan saya pun berkenan memberikan alamat rumah ketika ia meminta izin untuk bersilaturahmi secara langsung.

Dan siang itu ia datang. Tak ada yang istimewa dalam obrolan kami. Percakapan sangat standar. Bekerja di mana, lulusan mana, hobi, aktivitas, bahkan mempersoalkan situasi politik menjelang pemilu. Yang luar biasa adalah ketika ia pamit pulang dan dengan serius meminta saya berkenalan dengan ibunya. Saat itu saya menolaknya spontan. Untuk apa coba.

Maka saya pun mengerti permintaan seriusnya, ketika beberapa hari setelah itu ia menelpon dan mengutarakan "Saya punya feeling, kamu adalah jodoh yang Allah pilihkan untuk saya. Dan biasanya feeling saya benar". Tertawa lepas, itu reaksi saya. Ah ada-ada saja. Dan saya pun menolaknya dengan alasan yang saat itu bisa diterimanya. Ya, saya punya alasan untuk menolaknya. Komunikasi putus.

***

Waktu berlari tak kenal henti. Ribuan menit dan detik berhambur tanpa ampun. Suatu hari saya pulang ke rumah. Ibu sakit. Siang itu, setelah membayarkan rekening telepon, saya mampir ke warnet untuk sebuah keperluan. Dan tiba-tiba saja ia menyapa saya ketika online. Ia bertanya apakah saya telah menikah. Beberapa hari kemudian dia menelpon dan mengulang kembali tawaran saat itu setelah tahu saya belum menikah. Saya tidak mempunyai alasan kali ini. Saya meminta waktu.

Dalam bis yang membawa saya pulang ke Jakarta, bimbang itu semakin berdenyar. Resah hati ini berbisik "Rabbii... diakah pangeran itu yang kan membantu hamba melabuhkan cinta ini pada kesejatian-Mu, diakah orangnya yang kelak meneguhkan langkah dan mengokohkan rengkuh kayuh pada biduk yang kan terarungi menuju tepian hakiki bernama surga?". Masih dalam diam, pesan ibu terngiang kembali, ketika suatu saat ia menyampaikan persyaratan yang harus dipenuhi oleh semua menantunya "Nak, sanggupkah ia tidak meninggalkan shalat". Dan sayapun berkernyit ragu, apakah dia sanggup melakukannya.

***

Keraguan. Dengan satu ini, kemudian saya berkelahi. Setan begitu pintar mencari banyak celah hingga keraguan itu terus menjulang. Bagaimana jika ia dzalim, bagaimana jika ia tidak bisa menjadi qawwam yang baik, bagaimana jika keluarganya tidak menerima saya sebagaimana mestinya, bagaimana jika kelak ia menghalalkan segala cara dalam menafkahi keluarga dan banyak lagi 'bagaimana' yang kadang membuat hati ini ciut dan surut. "Bila ragu yang bertalu, temukan pasti dalam khusyumu" itu isi sms teman ketika saya mengurai keraguan itu padanya.

Dan memang, kepada siapa lagi saya harus bergantung dan memasrahkan diri selain kepada Allah yang menggenggam kekuasaan atas setiap perkara di setiap jengkal semesta. Pangeran adalah urusan-Nya yang ghaib. Tak ada satu kepala manusia pun di dunia yang perkasa mengatur jodoh anak adam. Bukankah Allah berjanji, wanita baik-baik untuk lelaki baik-baik dan sebaliknya. Dalam keheningan sepertiga malam terakhir, selanjutnya ragu itu saya tumpah ruahkan dalam sujud-sujud panjang. Kepada-NYA, satu yang saya pinta "Allahu Rabbii, jika ia adalah pangeran yang terbaik untuk kehidupan hamba, agama hamba dan akhirat hamba kelak, maka anugerahkan ia untuk hamba, dan juga mudahkan untuk kami jalannya, Allahumma Amin."



sbr:http://eramuslim.com
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Free Blogger Templates