Minggu, 23 Agustus 2009

whO eveR yoU aRe,,,

Sepotong syair Ebiet G. Ade dalam nyanyian cintanya "Sebening Embun" membawa ingatan saya pada sepasang suami-istri, sahabat saya. Memandang perjalanan pernikahan mereka, seperti menatap beningnya embun pagi. Damai dan indah.

Cinta mereka bukanlah cinta yang membara di awal jumpa. Tanpa proses cinta-cintaan seperti laiknya sepasang remaja, mereka cuma diikatkan oleh tujuan nikah sebagai ibadah. Semua menjadi sederhana dalam ketaatan pada Tuhannya. Dengan itulah mereka mampu menyatukan hati setelah pernikahan.

Si istri adalah seorang wanita yang cerdas dan mandiri. Karirnya sebagai seorang professional muda menanjak terus. Sejak sebelum menikah, ia memang cukup ambisius. Maka setelah ia menikah pada usia hampir tiga puluh, ia tak jadi surut dalam membina karir. Sementara itu, selayaknya orang-orang yang bergerak di kehumasan, ia pun punya banyak teman dan memiliki society sendiri.

Sementara si suami juga seorang yang cerdas. Dengan modal itulah ia tekun mengabdiakn dirinya pada dunia penelitian dan pendidikan. Cenderung pendiam, si suami lebih suka membaca dan 'menyepi' di rumah ketimbang bicara-bicara dan making friends.
Secara sifat-sifat pun, mereka amat bertolak belakang. Si istri cenderung ekspresif, sedang suaminya pasif. Si istri tidak sabaran dan maunya seba cepat, sedang suaminya bertolak belakang. Sang suami sepertinya banyak memberi jalan bagi istrinya yang 'whirlwind' ini.

Tapi lihatlah bagaimana kemudian saya menjadi terkagum-kagum pada pasangan ini.

Sang istri amat menghargai suaminya. Tak pernah sekalipun ia menceritakan yang jelek tentangnya. Kebanggaannya terhadap belahan hatinya terlihat tidak hanya lewat lisan, tapi juga lewat sikap. Dukungan tak habis-habisnya ia berikan buat sang suami.

Demikian pula sang suami, yang secara pendapatan per bulan, lebih kecil dari istrinya. Tak sekalipun ia memperlihatkan sikap berat atas kemajuan karir sang istri. Dan sungguh, ia pun tak mampu menyembunyikan kebanggaannya pada sang istri.

Di lain pihak, mereka adalah teman diskusi yang cocok. Semua hal bisa jadi bahan diskusi, dan ramai. Mereka juga ayah dan ibu yang 'cerdas' bagi putri kecil mereka yang baru dua tahun. Mereka juga sepasang kekasih yang romantis dan penuh cinta. Dan di atas segalanya, mereka adalah sepasang hamba Allah yang senang berlomba mencapai tingkat keimanan yang lebih tinggi.

Saya yakin, mereka bukanlah tak pernah 'ribut'. Mereka toh manusia biasa yang pasti bisa khilaf. Dan memang benar, mereka mengakui hal itu. Tapi bagaimana bisa kemudian mereka menambal khilaf-khilaf itu sehingga tak jadi bolong-bolong besar?

Jawabannya sederhana: mari menambalnya dengan ketekunan. Seperti tekunnya ibu kita dulu menambal selimut-selimut kita yang robek-robek dimakan usia. Ketekunan adalah proses, butuh waktu, tidak instan. Ketekunan adalah kesabaran menjalankan proses itu sendiri untuk mendapatkan hasil yang diinginkan, suatu saat kelak.

Saya berangkat menikah dengan keyakinan bahwa Allah membimbing kami. Allah-lah yang akan menumbuhkan rasa cinta. Saya sudah punya cukup modal: rasa hormat saya padanya, sebagai seorang laki-laki yang dengan sepenuh rasanya mau membagi sisa hidupnya dengan saya.

Saya tahu, saya orangnya cukup sulit, maka bila ada orang yang dengan sungguh-sungguh mau mendampingi saya, saya akan salut dan hormat sekali. Dan dia ternyata orang yang jadi suami saya. Siapa pun dia.

Maka saya ikuti alur prosesnya dengan tekun. Saya cari, jalani, amati, dan rasakan dengan penuh syukur setiap kesempatan setelah kami menikah. Siapa tahu ini jalan Allah untuk mengikatkan hati-hati kami?

Benarlah kiranya, setelah rasa hormat, muncul rasa syukur untuk seorang suami seperti dia yang dengan 'kelambanan' dan kesabarannya mampu meredakan eksplosivitas saya. Yang mampu menyiram habis seluruh amarah saya dan menggantinya dengan ketenangan. Yang menghargai saya bukan karena saya istri dan ibu anaknya, tapi karena saya manusia yang butuh dihargai."

Dari situlah muncullah rasa saying, cinta, dan segala rasa yang sejenis.

...kasih pun mulai deras mengalir

cemerlang sebening embun...

"Keajaiban terindah yang hadir dalam hidup saya adalah saya akhirnya dapat membentuk keluarga sendiri. Ada seorang wanita yang mau jadi istri saya. Meskipun dengan jujur saya katakan, saya tidak terlalu perduli siapa pun dia pada awalnya. Yang saya tahu, ia salihat dan cukup cerdas.

Lalu, hari demi hari, keajaiban itu bergerak perlahan-lahan. Seperti sebuah proses perjalanan. Ada seorang wanita yang saya panggil sebagai istri saya. Yang berusaha pulang kantor lebih awal dari saya. Yang memilihkan dan menyiapkan segala keperluan saya di tengah-tengah begitu banyak urusannya. Yang menemani saya menyiapkan bahan kuliah hingga larut malam.

Dia yang membuat saya merasa dihargai dan dicintai. Dengan tatap bangganya. Dengan ucapan terima kasih tulusnya saat menerima uang gaji saya yang tak seberapa. Dengan kesabarannya mengandung, melahirkan dan memegang komando pembinaan anak kami.

Saya tahu ia juga sedang belajar berumah tangga, seperti halnya saya. Saya juga tahu, ia sedang mengikuti proses di dalam rumah tangga itu seperti juga saya.

Keyakinan bahwa kami sedang sama-sama belajar mengikatkan hati dan rasa itulah yang senantiasa menambah rasa syukur saya. Kami benar-benar beruntung, karena sama-sama punya semangat yang tekun untuk membangun cinta kami."

...kasih pun mulai deras mengalir

cemerlang sebening embun ...

Dan sepasang suami istri itu saling menatap. 'Siapapun engkau, saya yakin engkau adalah yang terbaik dari Allah untuk saya. Karena bersamamu, saya bisa sama-sama belajar tekun berproses lebih baik lagi'.

sbr:http://eramuslim.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Free Blogger Templates